Santa Theresia Benedikta dari Salib, Perawan dan Martir

Santo Santa 09 Agustus, Santa Theresia Benedikta dari Salib, Perawan dan Martir

Santo Santa 09 Agustus

Santa Theresia Benedikta dari Salib, Perawan dan Martir

Santa Teresa Benedikta dari Salib lahir pada tanggal 12 Oktober 1891 di kota Breslau Kekaisaran Prusia -Jerman (kota ini kini bernama Wrocław, ibukota Provinsi Dolnoslaskie - Polandia). Hari kelahirannya ini bertepatan dengan hari raya Yahudi, Yom Kippur atau Hari Perdamaian Agung.

Ia adalah anak bungsu dari sebelas bersaudara putera-putri pasangan Yahudi Jerman, Siegfried Stein dan Auguste Courant Stein. Ayahnya adalah seorang pengusaha kayu yang meninggal dunia ketika ia baru berusia dua tahun. Kepergian ayahnya membuat sang ibu harus bekerja keras menghidupi sebelas orang anaknya.

Seperti kebanyakan wanita Yahudi di masa itu, ibunya adalah seorang yang taat beribadah, berkemauan dan seorang pekerja keras. Ia adalah seorang wanita mengagumkan yang sukses mengelola perusahaan kayu suaminya sambil mengurus keluarga.

Ia sangat peduli akan pendidikan anak-anaknya dan sukses menyekolahkan mereka semua sampai ke jenjang Perguruan Tinggi. Namun demikian, ibu Auguste Stein kurang berhasil menanamkan iman akan Tuhan yang hidup dalam diri anak-anaknya.

Pada tahun 1904, si bungsu Edith yang baru berusia 13 tahun telah kehilangan iman Yahudinya dan secara terbuka menyatakan diri sebagai seorang Atheis.

Pada tahun 1911, Edith Stein yang cerdas lulus Cum Laude pada ujian akhir sekolah. Ia lalu melanjutkan kuliah di Universitas Breslau untuk belajar bahasa Jerman dan sejarah. Pada tahun 1913, Edith pindah ke Universitas Göttingen dan belajar filsafat di bawah bimbingan seorang filsuf ternama; Professor Edmund Husserl.

Edith sangat menonjol dalam semua pelajaran sehingga sang professor pun mengangkatnya sebagai asisten. Professor Husserl juga membimbingnya sampai meraih gelar doktor Filosofi dengan predikat Summa Cum Laude pada tahun 1916. Setelah lulus, Edith bekerja sebagai asisten tetap professor Edmund Husserl.

Suatu hari, Edith datang ke Frankfurt dan mengunjungi Katedral Frankfurt yang terkenal itu. Ia melihat seorang perempuan dengan keranjang belanja masuk ke dalam katedral untuk berlutut memanjatkan doa.

Dikemudian hari Edith menulis :“Ini sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Di sinagoga-sinagoga dan di gereja-gereja Protestan yang pernah aku kunjungi, orang hanya datang bersama untuk menghadiri kebaktian. Tetapi di sini, aku melihat seorang yang datang sendirian tepat dari keramaian pasar ke dalam gereja kosong ini, seolah ia hendak mengadakan suatu percakapan yang mesra. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan.”

Pengalaman ini membuat Edith mulai membaca kitab suci Perjanjian Baru, buku-buku Kierkegaard (Søren Kierkegaard, seorang Filsuf dan Teolog Kristen pada abad-19. Kierkegaard saat ini dianggap sebagai tokoh filsafat eksistensialisme), dan buku latihan rohani dari St.Ignatius dari Loyola.

Pada tahun 1921 Edith Stein berlibur di Bad Bergzabern, di rumah seorang sahabatnya Hedwig Conrad-Martius seorang anggota gereja Protestan. Suatu sore, dari perpustakaan ruang Hedwig, Edith mengambil secara acak sebuah buku yang ternyata adalah buku otobiografi St.Theresia dari Avilla, dan terus ia membaca buku tersebut sepanjang malam sampai pagi hari. “Ketika aku selesai membaca, aku berkata kepada diriku sendiri : Inilah kebenaran!” kenangnya.

Keesokan harinya, Edith membeli buku Misa dan Katekismus yang di hari-hari selanjutnya menjadi tumpuan perhatiannya. Ketika dirasa ia sudah cukup paham, Edith untuk pertama kalinya masuk ke sebuah Gereja Katolik dan dengan mudah mengikuti jalannya Misa.

Ia ingin dibaptis segera; dan ketika Pastor Breitling mengatakan bahwa agar dapat dibaptis orang perlu persiapan untuk mengenal ajaran iman dan tradisi-tradisi Gereja, dengan yakin Edith menjawab, “Ujilah saya!”. Ini dilakukan pastor dan Edith pun lulus dengan gemilang.

Pada tanggal 1 Januari 1922, Edith Stein menerima Sakramen Baptis dan Sakramen Komuni Pertama di Gereja Santo Martinus, Bergzabern. Hari itu adalah hari Peringatan Penyunatan Yesus, ketika Yesus masuk ke dalam perjanjian Abraham. Teresa Edith Stein berdiri dekat bejana baptis dengan mengenakan gaun pengantin putih.

Dengan dispensasi khusus dari Bapa Uskup, Sahabatnya Hedwig menjadi wali baptisnya. Sejak saat itu ia terus-menerus sadar sepenuhnya bahwa ia adalah milik Yesus Kristus, bukan hanya secara rohani, melainkan juga karena darah Yahudinya.

Pada tanggal 2 Februari, hari Peringatan Pentahiran Maria - suatu hari yang ada rujukannya dalam kitab Perjanjian Lama - Edith menerima Sakramen Penguatan oleh Uskup Speyer di kapel pribadi bapa uskup.

Setelah menerima sakramen penguatan, Edith pulang ke Breslau. Dihadapan ibunya ia bersaksi : “Mama, aku kini seorang Katolik.” Ibunya yang merupakan seorang Yahudi yang saleh merasa bagai disambar petir. Hatinya bergetar hebat dan ia pun menangis. Seumur hidupnya, Edith belum pernah melihat ibunya yang tegar itu menangis.

Dalam kalangan Yahudi Orthodox, Katolik dianggap sebagai sekte yang hina. Edith sudah siap menerima teguran ataupun diusir dari rumah. Tetapi sang ibu malah memeluknya dan kedua wanita Yahudi itu pun menangis.

Dikemudian hari Hedwig Conrad Martius, sahabat dan wali babtisnya menulis tentang kejadian ini : “Lihat, inilah dua orang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (bdk Yohanes 1:47).

“Segalanya untuk semua orang,” itulah semboyan Edith sejak ia menjadi seorang Katolik. Ia meninggalkan pekerjaannya di Universitas lalu menjadi pengajar di sekolah Susteran Dominikan dan juga menjadi guru pembimbing bagi para biarawati di Biara St.Magdalena yang akan masuk universitas di Speyer.

Di kota ini Edith dikenal dengan sebutan “Fraulin Doctor” (Nona Doctor) dan menjadi teladan bagi semua orang. Salah seorang mantan muridnya kelak menulis :

“Kami baru berumur tujuhbelas tahun dan Fraulein Doctor mengajar kami bahasa Jerman. Sesungguhnya ia memberi kami segalanya. Kami masih sangat muda, namun daya tarik yang terpancar darinya tak akan pernah kami lupakan. Tiap-tiap hari kami melihat dia berlutut di bangku doanya, di depan koor, selama Perayaan Ekaristi.

Maka kami mulai sedikit mengerti apa artinya iman dan sikap hidup yang diserasikan. Bagi kami, di usia yang penuh kritik, sikapnya saja sudah menjadi teladan. Kami tak pernah melihat dia lain daripada anggun, tenang dan pendiam. Seperti itu ia selalu masuk ke kelas kami, seperti itu juga ia seminggu sekali menemani kami waktu rekreasi….”

Pada tahun 1931, Edith Stein meninggalkan sekolah biara di Speyer dan berupaya untuk meraih gelar professor di Breslau dan Freiburg. Usahanya ini sia-sia akibat perubahan politik yang terjadi di tanah Jerman.

Pada tahun 1932 Edith sempat menjadi pengajar di Institut Pedagogi di Münster, tetapi undang-undang Antisemitisme yang diberlakukan oleh pemerintahan baru Jerman, Adolf Hitler dan partai NAZI, memaksanya untuk mundur dari jabatan tersebut pada tahun 1933. Para NAZI tidak memperkenankan orang Yahudi untuk menjadi tenaga pendidik.

Pada tanggal 14 Oktober 1933 Edith Stein memutuskan untuk masuk Biara Karmel tak berkasut di Cologne. Ia diterima dan setahun kemudian ia menerima busana biarawati Karmel dan mengambil nama biara : Teresa Benedicta a Cruce (Teresa yang terberkati dari Salib). Pada tanggal 21 April 1935, Sr.Teresa Benedikta mengucapkan kaul sementara dan mengucapkan Kaul Kekal tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 April 1938.

Sebagai seorang biarawati katolik berdarah Yahudi, Sr.Teresa Benedikta merasa memiliki kesempatan dan tanggung jawab unik, untuk menjembatani jurang pemisah antara iman Kristiani dan Yahudi.

Ia menulis buku “Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi” (yaitu keluarganya sendiri) dan berusaha menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristiani dalam kehidupan mereka sehari-hari.

“Aku hanya ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa Yahudi. “Kami yang dibesarkan dalam agama Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi … bagi generasi muda yang dibesarkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”

Pada akhir tahun 1938, gerakan anti-Semit pemerintah NAZI dan penganiayaan kepada orang Yahudi semakin meningkat diseluruh wilayah Jerman. Sinagoga-sinagoga dihancurkan, harta milik orang-orang Yahudi dirampas. Orang-orang Yahudi dicekam ketakutan atas keselamatan mereka. Untuk melindungi Sr.Teresa Benedikta, Priorin Biara Karmel di Cologne memindahkannya ke luar negeri.

Pada malam Tahun Baru 31 Desember 1938, Sr.Teresa bersama saudarinya Rosa yang juga sudah menjadi Katolik diselundupkan ke negeri Belanda, dan tinggal di Biara Karmel di Echt di Provinsi Limburg. Disini Sr.Teresa Benedikta sempat menulis sebuah karya yang berjudul : Studie über Joannes a Cruce: Kreuzeswissenschaft (Penelitian tentang Yohanes dari Salib : Ilmu Salib).

Pada tanggal 15 Mei 1940 Belanda jatuh ketangan NAZI Jerman. Edith sekali lagi harus merasakan getirnya hidup dibawah undang-undang anti-Semit NAZI. Pada tanggal 20 juli 1942 para Uskup Katolik Roma Belanda mengumumkan pernyataan yang dibacakan di seluruh gereja di negara tersebut yang menentang pembuangan dan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi. Sebagai balasannya Para NAZI menangkap semua orang Katolik keturunan Yahudi, termasuk para imam dan para biarawan-biarawati.

Sr.Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942 saat ia sedang berdoa di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia dan saudarinya Rosa diwajibkan keluar dari biara dalam waktu lima menit. Rosa kini telah menjadi seorang Karmelit Ordo Ketiga yang bekerja di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Sr.Teresa mengatakan, “Mari, kita pergi untuk bangsa kita.”

Bersama dengan banyak orang Yahudi lainnya, kedua wanita ini diangkut ke suatu kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke Westerbork. Kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai berikut,

“Di antara para tahanan yang datang pada tanggal 4 Agustus, Sr.Teresa Benedikta mencolok karena ketenangannya yang dalam dan kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak terlukiskan. Sr.Benedikta berkeliling di antara ibu-ibu, menghibur, menolong, menenangkan, bagai seorang malaikat.

Banyak ibu-ibu yang nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka. Mereka bingung dan putus asa. Sr.Benedikta memperhatikan anak-anak yang malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka… ia memberi contoh pengabdian yang tak kenal lelah, yang begitu baik, yang mengherankan semua orang.”

Ny.Bromberg, salah seorang yang selamat dari kamp Konsentrasi dimana Sr.Benedikta ditawan memberikan kesaksian,

“Perbedaan besar antara Edith dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam. Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih, tidak takut, tetapi tak dapat kukatakan yang lain daripada bahwa ia memberi kesan harus memikul beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya seringkali ia memandangi kakaknya Rosa dengan amat sangat sedih.

Pada saat aku menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas dirinya dan orang lain…. Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri, karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan terlalu tenteram, melainkan penderitaan yang akan menimpa orang lain. Seluruh penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku membayangkannya lagi, duduk di muka barak : suatu patung Pieta tanpa Kristus.”

Pada tanggal 7 Agustus 1942 Sr.Teresa Benedikta bersama Rosa dan 985 orang Yahudi dibawa dengan kereta api ke kamp Konsentrasi di Auschwitz, Polandia. Pada tanggal 9 Agustus Suster Teresia Benedicta a Cruce bersama Rosa dan banyak kaum sebangsanya dibantai dengan gas beracun didalam kamar gas. Jenazah mereka lalu dibakar secara massal di krematorium.

Sr.Teresa Benedikta dibeatifikasi di Cologne pada tanggal 1 Mei 1987 oleh Paus Yohanes Paulus II. Saat itu bapa suci menyatakan bahwa Gereja menghormati “seorang puteri Israel” yang sebagai seorang Katolik pada masa penganiayaan Nazi, tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia.”

Pada tanggal 11 Oktober 1998, Beata Teresa Benedikta dari Salib dikanonisasi oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Setahun kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1999, paus yang sama memaklumkan santa Teresa Benedikta, bersama dengan St.Katarina dari Sienna dan St.Brigitta dari Swedia, sebagai Santa pelindung Eropa.

Sebelumnya, Eropa memiliki tiga santo pelindung: St.Benediktus, St.Sirilus dan St.Methodius. Bapa Suci mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “demi menekankan peran penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam gereja dan dalam sejarah sipil Eropa.”

Kembali Ke Santo Santa Bulan Agustus

Sumber https://katakombe.org/

Sumber Gambar google.com

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url